Tentang Jati Diri “Ketika Jati Diri Hilang”

Begitu banyak orang mendefinisikan jati diri. Ada yang menyebutkan jati diri adalah identitas diri, karakter, brand, ciri khas, sifat, semangat,jiwa, watak, kepribadian, moral dan lain sebagainya. Semua definsi itu mengerucut kepada satu pemahaman bahwa jati diri merupakan ciri khas yang melekat pada diri seseorang, organisasi, masyarakat atau bangsa – sehingga ketika ciri khas ini disebut maka secara otomatis dan spontan akan mengarah kepada sosok orang, organisasi atau bangsa tertentu.

Jati diri itu sangat penting, lebih penting dari kekayaan apapun yang dimiliki. Bahkan lebih penting dari hidup itu sendiri. Ketika jati diri hilang maka hilang pula pribadi, organisasi atau bangsa itu.

Apa yang terjadi Ketika Jati Diri Hilang ?

Ketika jati diri hilang maka hidup juga akan hilang. Serem banget! Tidak percaya? Mari kita amati kejadian yang baru saja terjadi di negeri ini. Tahun 1962, Johan Alexander Supit (JAS) mendirikan perusahaan bernama PT. Sariwangi dengan basis bisnis perdaganan teh. Sepuluh tahun kemudian, 1973, ia membuat inovasi yang menggebrak dunia penikmat minuman teh dengan meluncurkan Teh Celup Sariwangi, suatu inovasi baru cara menyajikan minuman teh. Produknya meledak di pasaran dan menguasi 93% pasar teh di Indonesia, bahkan merambat ke mancanegara.

Sejak saat itu brand teh celup telah dikuasai oleh Sariwangi. Bila berbicara tentang teh celup secara otomatis dan spontan orang akan membayangkan Teh Celup Sariwangi. Belasan tahun kemudian PT. Sariawangi menjadi salah satu perusahan terkaya di Indonesia.

Merasa telah sukses membesarkan Teh Celup Sarwangi, pada tahun 1989 tiba-tiba JAS merasa perlu untuk mengembalikan perusahaanya ke bisnis awal sebagai pemasok bahan baku teh mentah, daun teh. la merubah nama perusahaannya menjadi PT. Sariwangi Agricurtural Estate Agency (SAEA ).

Langkah awal yang diambil JAS untuk mengembangkan SAEA adalah menjual merk Sariwangi kepada PT. Unilever Indonesia dan menandatangani perjanjian kerjasama (PKS). Sebagian dari isi perjanjian, pihak Unilever berkewajiban untuk membeli bahan baku teh dari SAEA dan brand “Sariwangi” menjadi milik mutlak Unilever

Secara imajiner penulis mencoba menelusuri jalan pikiran JAS ketika bisnisnya dikembalikan ke awal, back to basic. Saat itu JAS membayangkan menjual brand “Sariwangi” yang sedang dipuncak prestasi ia akan mesuntikan modal yang banyak, hal ini diperlukan untuk memperluas lahan perkebunan teh miliknya. Di lain sisi ia juga berpikir  meskipun brand “Sariwangi”, bukan miliknya lagi tetapi PKS telah mengikat Unilever untuk tetap membeli daun teh dari SAEA. Jadi, sepanjang Teh Celup Sariwangi terus terjual maka sepanjang itu pula bahan baku teh dari SAEA akan diperlukan. Sukses Teh Celup Sariwangi akan  erbanding lurus terhadap sukses SAEA

Waktu bergulir terus. Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Perkiraan JAS untuk mengembangkan SAEA ternyata meleset! Kinerja SAEA terus menurun dan produksi daun teh merosot tajam. Menyadari hal ini, untuk mempertahan perusahaannya JAS melobi beberapa bank untuk meminta bantuan pasokan modal segar. Dan kucuran dana pun mengalir dari Rabobank, Panin Bank, HSBC, ICBC dan Commonwealth. Pasokan modal ini pun tak mampu membangkitkan kinerja SAEA. Pokok hutang tak mampu dicicil bunga pun terus terus membengkak. Penangguhan pembayaran hutang sempat dilakukan tetapi kinerja jatuh ke titik nadir. Pasokan kepada Unilever tidak dapat dipenuhi.

Khawatir dengan kondisi ini terpaksa Unilever berpaling ke lain hati dengan menjalin kerjasama pasokan bahan baku teh dengan mitra vang lain. Sudah jatuh tertimpa tangga, sudah bangkrut ditinggal teman. Lengkap sudah persyaratan untuk sekarat bagi SAEA. Puncaknya, tepat tanggal 16 Oktober 2018 PT. Sariwangi Agricurtural Estate Agency diputus pengadilan sebagai perusahaan pailit, alias bangkrut ! Wafat-lah SAEA

 

Pelajaran Yang Bisa dipetik dari Sebuah Kisah Perusahaan yang kehilangan Jati Diri

Dari kasus SAEA diatas, menurut Jamil Azzaini-CEO Kubik Leadership ada tiga pelajaran yang dapat dijadikan hikmah.

1. Jagalah jati diri atau brand kita baik-baik

Jati diri atau Brand merupakan bagian diri kita yang sangat penting. Bahkan harga brand boleh jadi lebih mahal dibandingkan dengan aset fisik yang dimiliki. Orang-orang yang cerdas dan berakal sehat akan fokus membangun brand dan intangible asset lainnya.

Dalam bahasa pengembangan diri brand sama dengan reputasi. Dengan reputasi inilah kita bisa memiliki pengaruh yang semakin meluas dan nilai diri yang semakin tinggi. Reputasi yang baik juga akan menyelamatkan kita saat menemui kondisi sulit atau terpuruk. Reputasi menjadi jaminan kepercayaan (trust ) untuk mengembangkan diri saat kita berada dalam kondisi sukses, juga merupakan garansi ketika kita berada pada kondisi memerlukan pertolongan.

2. Seriuslah untuk membangun bisnis yang tidak akan merugi.

Dalam kitab suci Al-Qur’an surat Al-Faathir ayat 29 dinyatakan,

” sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah (Al- Qur’an), mendirikan sholat, menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugarahkan kepada mereka dengan diam-diam ataupun terang-terangan, mereka itulah (orang-ora perniagaan yang tidak akan merugi”.

Menurut firman Allah diatas, bisnis yang tidak akan merugi adalah :

  1. Membaca secara seksama dan teliti ayat-ayat Tuhan yang tertulis dalam potensi diri, dalam situasi kondisi terkini dan dalam lingkungan terdekat dari diri kita. Semakin banyak membaca semakin lengkap ilmu yang didapat, semakin mantap pula hati ketika harus mengambil keputusan. Keputusan yang diambil berdaarkan kajian ilmu yang lengkap kemungknannya kecil untuk terjadi kesalahan;
  2. Berkomunikasi secara inten dengan Sang Khaliq yang telah menciptakan kita, Pada prinsipnya kita bukan apa-apa, bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa. Komunikasi yang kental dengan Zat yang menciptakan kita akan menggiring diri kita untuk lebih mengenal dan memahami diri kita sekaligus meningkatkan nilai brand diri kita dihadapan-Nya, Ketika nilai kita dihadapan Tuhan meningkat pada saat yang bersamaan reputasi kita dihadapan sesama manusia akan meningkat pula;
  3. Suka berbagi keutungan. Orang bijak mengatakan bahwa ” harta kita yang sesungguhnya buka harta yang sedang kita pengang atau kita kuasai, melainkan harta yang sudah dibagikan kepada orang lain “. Percaya atau tidak, ketika kita berbagi maka harta kita akan semakin banyak, bisa kuantitas ataupun kualitas. Sebaliknya ketika kita berbuat kikir kita akan merasa selalu kekurangan. Semakin kikir akan terasa semakin miskin. Itulah keajaiban berbagi (sedekah).

Mohon dicatat, tidak pernah ada yang menjadi miskin gara-gara bersedekah dan tidak pernah ada yang kaya raya dari berbuat kikir.

3. Kurangi nafsu berhutang.

Ketika kita harus berhutang maka keputusan tersebut harus lahir berdasarkan kajian ilmu, pertimbangan akal dan perhitungan akan kemampuan diri, serta meraba hati: benarkan ini yang harus dilakukan ? Ketika ilmu mengkalkulasikan keuntungan, akal merekomandasi manfaat, dan hati terasa nyaman maka 90% keputusan itu akan melahir kebaikan. Lakukan, laksanakan tanpa keraguan.

Sebaliknya saat kajian ilmu tidak masuk, akal menolak dan hati berontak – jangan lanjutkan untuk berhutang karena bisa dipastikan keburukanlah yang akan datang. Besar pasak dari pada tiang adalah tindakan berbahaya. Carilah alternatif lain yang lebih maslahat, karena selalu terbuka jalan kebaikan bagi orang-orang yang selalu berikhtiar untuk menemukanya.

Hari ini PT. Sariwangi secara de yure telah mati, tetapi produk Teh Celup Sariwangi akan tetap kita jumpai di warung, toko atau swalayan. Jati dirinya tetap ‘wangi’ dan punya nilai jual, meskipun telah menjadi milik orang lain.

Artikel ini adalah tulisan karya Drs Nurdin MMRS yang dikutif dari sebuah majalah “panenjo”  Rs Cicendo Bandung

Seseorang yang berkecimpung di dunia internet sebagai part time blogger, dan bekerja sebagai seorang teknisi IT disebuah perusahaan di Bandung. Tertarik dengan dunia teknologi, komputer dan elektronika.

Tinggalkan komentar